Search This Blog

Wednesday, May 22, 2019

LIQUITY TRAP DI JEPANG

Bramanian Surendro Pada akhir tahun 1999, Paul Krugman pernah mengemukakan pandangannya mengenai liquidity trap yang terjadi di Jepang saat itu. Dia berpendapat, ”So far only Japan has actually found itself in liquidity-trap conditions, but if it has happened once it can happen again, and if it can happen here it presumably can happen elsewhere.” Sepuluh tahun kemudian pendapat tersebut menjadi kenyataan. Jepang yang sempat mengalami pemulihan dari kelesuan ekonomi selama lebih kurang satu dekade harus kembali menghadapi masalah yang sama, deflasi, stagnasi ekonomi, serta pilihan ekspansi fiskal dan moneter yang semakin sedikit. Selain Jepang, kondisi yang hampir sama juga sedang dihadapi Amerika Serikat. 

Kemunduran ekonomi Jepang dimulai sejak awal tahun 1990-an sebagai akibat berantai dari penguatan tajam nilai tukar yen antara tahun 1985 dan 1988, relokasi basis operasi korporasi Jepang akibat menurunnya daya saing ekspor, pecahnya bubble properti, penurunan investasi, dan seterusnya. Pada dekade 1980-an rata-rata pertumbuhan ekonomi Jepang sebesar 5 persen per tahun, dengan pertumbuhan tertinggi sebesar 7,3 persen pada tahun 1988 dan terendah sebesar 2,9 persen pada tahun 1986. Pada dekade 1990-an ekonomi Jepang hanya tumbuh rata-rata 1,5 persen setiap tahunnya. Pertumbuhan tertinggi tercatat sebesar 5,6 persen (1990) dan terendah sebesar -2,1 (1998). Untuk mengatasi kondisi ini Pemerintah Jepang mulai melakukan stimulus dengan menggunakan instrumen fiskal. Sebagai dampaknya, defisit anggaran Jepang mulai mengalami peningkatan pada awal tahun 1990-an. Pada tahun 1990, posisi anggaran Pemerintah Jepang masih tercatat surplus sebesar lebih dari 2 persen (terhadap produk domestik bruto). Beberapa tahun kemudian surplus anggaran tersebut semakin mengecil. Pada tahun 1993 anggaran keuangan Jepang sudah mengalami defisit sebesar 2,5 persen. Ekspansi fiskal yang dilakukan Jepang juga terlihat dari terus meningkatnya rasio utang terhadap PDB. Tahun 1990 rasio ini masih berada di level 66,7 persen. Hanya dalam tempo tujuh tahun angkanya sudah 107,5 persen. Semakin lama defisit anggaran Jepang semakin membesar. Selain fiskal, stimulus juga dilakukan melalui jalur moneter, di mana bank sentral Jepang (BOJ) mulai menurunkan suku bunga acuan. Pada tahun 1994 suku bunga acuan masih dipatok di kisaran 2,3 persen. Levelnya diturunkan menjadi sekitar 0,45 persen pada rentang waktu 1995-1997. Sebenarnya hasil positif dari stimulus ini mulai dirasakan perekonomian Jepang. Kondisi ini dapat dilihat dari tren pertumbuhan ekonomi antara tahun 1993 dan 1996 yang terus meningkat. Pada 1996 ekonomi Jepang bahkan tercatat tumbuh sekitar 2,7 persen (gambar 1). Tren pertumbuhan ini kemudian terganggu oleh krisis keuangan Asia. Setelah itu, ekonomi Jepang kembali mengalami kontraksi. Pada tahun 1998 ekonomi Jepang tumbuh negatif sebesar 2,1 persen. Pada saat itu pula Jepang mulai terjerat deflasi. Ekspansi fiskal Sebagai antisipasi krisis, Pemerintah Jepang melanjutkan ekspansi fiskal dengan menaikkan defisit hingga mencapai level 11,2 persen dari PDB pada 2008. Mengingat tingkat defisit anggaran tersebut sudah sangat tinggi, Pemerintah Jepang kemudian memutuskan untuk tidak melanjutkan ekspansi fiskal secara lebih agresif. Stimulus ekonomi kemudian dilanjutkan melalui jalur moneter. BOJ kembali menurunkan suku bunga acuan hingga mendekati 0 persen pada bulan Februari 1999. Kebijakan moneter ini baru pertama kali diambil oleh BOJ. Oleh karena itu, muncul persepsi di pasar keuangan Jepang bahwa kebijakan tersebut tidak akan dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Sebagai dampaknya, suku bunga di pasar keuangan sempat kembali mengalami kenaikan pada bulan Maret 1999. Kondisi sulit dalam perekonomian Jepang kemudian berlanjut. Deflasi masih berlangsung. Tidak banyak ruang bagi Pemerintah Jepang untuk melakukan ekspansi fiskal dengan agresif. Suku bunga acuan sudah dipatok mendekati 0 persen dan tidak mungkin kembali diturunkan. Pada 2001 gangguan kembali datang akibat krisis yang terjadi di AS. Ini menyebabkan masalah yang harus dihadapi perekonomian Jepang semakin kompleks. Pada Maret 2001 BOJ kemudian mengambil langkah yang belum pernah diambil oleh bank sentral mana pun di seluruh dunia. Langkah ini yang kemudian dikenal dengan istilah quantitative easing policy (QEP). Kebijakan tersebut terdiri atas tiga komponen utama. Pertama adalah perubahan target operasi BOJ dari suku bunga pinjaman harian antarbank (overnight rate) menjadi posisi current account balance (CAB) institusi keuangan Jepang di neraca BOJ. Pada praktiknya BOJ kemudian beberapa kali menaikkan target CAB. Posisi CAB yang semakin besar memompa excess reserve di sistem keuangan Jepang (di Indonesia excess reserve sama dengan posisi giro perbankan di Bank Indonesia setelah dikurangi giro wajib minimum). Komponen kedua adalah penggunaan beberapa instrumen dalam mencapai tujuan target operasi di atas. Pada praktiknya instrumen utama yang digunakan oleh BOJ adalah pembelian surat utang Pemerintah Jepang (Japanese Government Bond/JGB) bertenor panjang. Komponen ketiga adalah komitmen bahwa implementasi kebijakan ini akan terus dilakukan sampai laju inflasi inti di Jepang kembali naik ke wilayah positif. Untuk menjaga fleksibilitas kebijakan, selain pembelian JGB bertenor panjang, BOJ akhirnya juga melakukan pembelian terhadap beberapa aset finansial lain dengan tenor yang beragam meski porsinya tidak sebesar JGB bertenor panjang. BOJ juga melakukan pembelian aset berdenominasi dollar AS. Sebagai dampaknya forex reserve Jepang mengalami kenaikan signifikan saat pelaksanaan QEP. Di tengah pelaksanaan QEP, pertumbuhan ekonomi Jepang mulai naik lagi sejak tahun 2003. Tren positif ini terus berlanjut pada 2004 dan 2005. Laju inflasi juga bergerak mendekati wilayah positif pada kurun waktu yang sama. BOJ sepertinya menghindari dampak buruk akibat berlebihnya suplai uang saat perekonomian mulai bergerak positif. Karena itu, sesuai dengan target yang sudah ditetapkan pada awal pelaksanaan QEP, begitu laju inflasi sudah berada di wilayah positif BOJ memutuskan untuk mengakhiri QEP. QEP sendiri dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup panjang, secara resmi baru dihentikan pada Maret 2006. Pasca-QEP, ekonomi Jepang sebenarnya sempat melanjutkan tren pemulihan. Ini menunjukkan anggapan bahwa QEP yang dilakukan oleh BOJ selama 2001-2006 berakhir gagal tidak sepenuhnya benar. Memang, krisis keuangan yang kembali datang akibatnya pecahnya bubble pasar properti di AS menyebabkan ekonomi Jepang kembali terpuruk. Kini Jepang seperti mengulang dari awal rangkaian kondisi yang sudah pernah dialami sejak awal dekade 1990-an. Masalahnya kini bahkan lebih kompleks, di dalam negeri Jepang harus berhadapan dengan jumlah populasi produktif yang semakin menurun, sementara di tingkat global banyak negara dan wilayah lain yang masih mengalami masalah dalam ekonomi domestiknya. Kondisi terakhir tersebut menyebabkan Jepang sulit berharap dari peningkatan permintaan dari pasar di luar negeri untuk mendorong aktivitas ekonomi dalam negerinya. Ekonomi AS juga masih bergelut dengan masalah yang mirip dengan Jepang. Beberapa waktu lalu, The Fed memutuskan untuk kembali menjalankan kebijakan quantitative easing untuk menjaga pemulihan ekonomi AS. Sebelumnya kebijakan ini sudah diambil oleh The Fed selama Maret 2009-Maret 2010. Demikian juga dengan Eropa. Setelah Yunani dan Irlandia, Portugal dan Spanyol menjadi pusat kekhawatiran baru atas kelanjutan krisis utang di sana karena profil fiskal kedua negara ini mirip dengan Yunani dan Irlandia. Bramanian Surendro Analis Danareksa Research Institute

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jepang Bergelut dengan Jebakan Likuiditas", https://nasional.kompas.com/read/2010/11/29/03374535/twitter.com?page=all.

No comments:

Post a Comment

SOAL UAS GENAP EKONOMI MAKRO

Kebijakan pemerintah dalam mengatasi permasalahan Inflasi dan pengangguran? Jawaban Pengangguran dan inflasi merupakaan permasalahan ekonomi...